Setelah kita kaji bagaimana cara menyalurkan harta haram dalam tulisan sebelumnya di sini. Satu permasalahan lagi yang seringkali ditanyakan, bagaimana jika dahulu bekerja dengan yang haram, lalu bertaubat. Namun sekarang ada usaha yang tumbuh dari modal yang haram seperti dari hasil korupsi atau mencuri. Bagaimana solusi untuk permasalahan yang satu ini? Apakah seluruh hartanya jadi tidak halal termasuk keuntungannya?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah bagaimanakah hukum harta yang tumbuh dari investasi harta yang haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menjelaskan mengenai perselisihan ulama dalam masalah ini dan menyimpulkan pendapat terkuat. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Mengenai harta hasil curian yang dimanfaatkan oleh pencuri hingga mendapatkan hasil setelahnya, para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Apakah harta yang tumbuh itu kembali menjadi si pemilik pertama saja? Ataukah harta tersebut si pencuri dan pemilik menyedekahkannya?” … Terhadap harta semacam ini, ‘Umar bin Al Khottob pada awalnya menyikapinya dengan memerintahkan untuk menyerahkan seluruhnya pada Baitul Maal. Keuntungan sama sekali tidak boleh diambil oleh mereka yang memanfaatkan harta haram tadi. Lalu ‘Abdullah bin ‘Umar menyanggah ayahnya dengan mengatakan bahwa seandainya harta tersebut rusak, maka dhoman (ganti rugi) bagi yang memegangnya saat itu. Kalau punya kewajiban ganti rugi, lalu mengapa dalam masalah keuntungan tidak didapat? ‘Umar lantas terdiam. Kemudian sebagian sahabat mengatakan pada ‘Umar bahwa harta tersebut di bagi saja untuk mereka dan separuhnya lagi untuk (maslahat) kaum muslimin, yaitu setengah keuntungan pada mereka dengan setengahnya lagi pada kaum muslimin. ‘Umar pun memilih melaksanakan hal itu.
Inilah yang jadi pilihan para fuqoha dalam masalah mudhorobah yang berasal dari ketetapan ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat pun sependapat dengannya, dan inilah bentuk keadilan. Keuntungan yang tumbuh dari harta haram tersebut tidaklah dikhususkan milik salah satunya. Begitu pula tidaklah harta tersebut disucikan seluruhnya melalui sedekah dengan seluruh harta tadi. Yang tepat, keuntungan tersebut milik mereka berdua, sebagaimana pembagian dalam akad mudhorobah.” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 323)
Sehingga misalnya ada seseorang yang memanfaatkan harta curian atau korupsi untuk investasi, maka ia hanya berhak mendapat 50% dari hasil keuntungan. Sisanya diserahkan kepada pemilik harta yang sebenarnya. Jika tidak memungkinkan mengembalikan kepada pemilik sebenarnya, maka modal dan separuh dari keuntungan tadi disucikan dengan disalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti untuk menolong orang fakir, membangun rumah sakit, atau membangun sekolah. Jika ternyata pemilik harta tadi datang, maka jelaskan bahwa seluruh hartanya telah disedekahkan atau mengembalikan sejumlah uang yang menjadi haknya. Lihat Fatwa Islamweb di sini.
Penjelasan di atas sebenarnya adalah penerapan kaedah fikih yang disebutkan dalam hadits,
الخراج بالضمان
“Keuntungan itu menjadi hak orang yang bertanggung jawab atas suatu harta.” (HR. Tirmidzi no 1285 dan beliau mengatakan, “Hadis hasan shahih”).
Pembahasan di atas berlaku untuk keuntungan dari modal harta haram yang masih ada hak orang lain, seperti dari harta curian. Sedangkan modal yang tumbuh dari pinjaman riba, ada baiknya dibahas dalam tulisan lainnya. Karena yang terakhir ini berbeda kasusnya.
Semoga Allah selalu memberkahi kita dengan rizki yang halal. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=127018
@ Maktabah Amir Salman, Riyadh-KSA, 6 Shafar 1434 H